Kebijakan Stunting di Waena: Perspektif, Tantangan, dan Harapan

Oleh. Ahyar Wahyudi

4/26/20243 min baca

Stunting adalah persoalan gizi yang tidak hanya mengancam pertumbuhan fisik, tetapi juga perkembangan kognitif dan produktivitas masa depan anak. Di Indonesia, khususnya di Waena, Jayapura, Papua, prevalensi stunting masih merupakan isu kritis yang memerlukan penanganan serius. Melalui kacamata evaluasi kebijakan yang digunakan oleh Yuli Kogoya dan timnya, kita diajak memahami lebih dalam bagaimana teori implementasi kebijakan oleh George C. Edward III dapat membantu menilai program pengurangan stunting di Puskesmas Waena.

Penelitian oleh Kogoya et al. mencerminkan kondisi nyata dari implementasi kebijakan stunting yang terhambat oleh beberapa faktor. Secara garis besar, teori Edward III mengidentifikasi empat variabel penting yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi. Penelitian ini mengungkapkan bahwa meskipun komunikasi antarsektor terjalin cukup baik, masih terdapat kekurangan dalam hal sumber daya manusia dan infrastruktur, serta koordinasi antarlembaga yang kurang efektif.

Pentingnya komunikasi yang efektif dalam mengimplementasikan kebijakan stunting tidak bisa dianggap remeh. Keterlibatan berbagai pihak mulai dari tingkat pemerintah kota hingga komunitas lokal harus dijalankan dengan sinergi yang kuat agar informasi dan kebijakan yang dibuat dapat diimplementasikan dengan sukses. Dari penelitian ini, kita bisa melihat bagaimana komunikasi vertikal dan horizontal dapat memfasilitasi atau menghambat proses ini.

Sumber daya menjadi salah satu faktor dominan yang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah program stunting. Di Puskesmas Waena, meskipun ada upaya untuk memobilisasi sumber daya yang ada, masih terlihat jelas bahwa keterbatasan sumber daya manusia seperti dokter, bidan, dan nutrisionis, serta infrastruktur yang memadai adalah kendala besar. Menurut penelitian ini, peningkatan pelatihan untuk kader dan penambahan tenaga ahli nutrisi bisa menjadi langkah konkret untuk mengatasi permasalahan ini.

Disposisi positif dari pelaksana program sangat krusial dalam implementasi kebijakan stunting. Hal ini mencakup komitmen kuat dari semua pihak yang terlibat untuk menerapkan kebijakan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Namun, tanpa struktur birokrasi yang mendukung, disposisi positif saja tidak cukup. Struktur birokrasi di Puskesmas Waena yang belum optimal menunjukkan betapa pentingnya memiliki kerangka kerja yang jelas dan efisien dalam penanganan stunting.

Dari evaluasi ini, terlihat jelas bahwa perlu ada usaha lebih sistematis dan terintegrasi dalam mengatasi stunting. Koordinasi lintas sektor harus diperkuat, sumber daya harus ditingkatkan, dan komunikasi harus terus diperbaiki. Kebijakan yang responsif dan adaptif terhadap kondisi lokal akan memungkinkan intervensi yang lebih tepat sasaran dan efektif.

Penelitian ini memberikan refleksi yang mendalam tentang pentingnya evaluasi yang berkelanjutan terhadap kebijakan yang telah diimplementasikan. Melalui evaluasi, kita dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dalam program, yang pada gilirannya dapat membantu dalam merumuskan strategi yang lebih baik untuk masa depan. Mempertimbangkan kearifan lokal dan kebutuhan spesifik komunitas di Waena dalam merancang dan mengimplementasikan kebijakan adalah kunci utama yang dapat meningkatkan efektivitas program pengurangan stunting.

Penelitian ini tidak hanya merefleksikan kondisi di Waena tetapi juga memberikan insight berharga untuk daerah lain yang menghadapi masalah serupa. Dengan terus menerapkan dan mengevaluasi kebijakan secara kritis, diharapkan dapat tercipta generasi yang lebih sehat dan berpotensi maksimal di masa depan.

Dalam penanggulangan stunting di Indonesia, peran surveior akreditasi dari Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI) menjadi penting, khususnya dalam memastikan bahwa fasilitas kesehatan, termasuk Puskesmas, memenuhi standar yang ditetapkan untuk program nasional penanggulangan stunting. Surveior dari LAFKI bertugas melakukan penilaian dan verifikasi langsung ke lapangan untuk mengevaluasi apakah praktik-praktik yang dilaksanakan di fasilitas kesehatan sudah sesuai dengan protokol kesehatan dan standar operasional yang berlaku. Mereka memastikan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan efektif dalam mendeteksi dan menangani kasus stunting, serta mengidentifikasi kekurangan-kekurangan yang mungkin ada. Hasil dari evaluasi ini sangat krusial dalam menjamin kualitas dan keberlanjutan dari program penanggulangan stunting, serta membantu fasilitas kesehatan dalam meningkatkan layanan mereka. Melalui kerja keras dan dedikasi surveior LAFKI, diharapkan fasilitas kesehatan dapat terus meningkatkan standar pelayanannya, sehingga kontribusi nyata dapat dihasilkan dalam usaha nasional untuk mengurangi prevalensi stunting di Indonesia (Sumber: Kogoya, Y., Togodly, A., Tingginehe, R. M., Ruru, Y., Bouway, D., & Mediati, N. (2024). Evaluation of Policy Implementation (G. Edward III Theory) on the Stunting Prevention and Treatment Program at Waena Health Center, Jayapura City Papua Province. Formosa Journal of Science and Technology, 3(2), 233–246. https://doi.org/10.55927/fjst.v3i2.8105)