Person Centered Care: Transformasi Melalui Empati dan Teknologi

Oleh. dr Friedrich M Rumintjap, Sp.OG(K), MARS, FISQua, FRSPH, FIHFA

4/26/20242 min baca

Di dunia yang terus berubah, di mana teknologi dan kebutuhan manusia berinteraksi dalam cara yang semakin kompleks, perawatan kesehatan tidak terkecuali. Artikel yang ditelaah mengungkap bagaimana konsep LAFKI (Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia) dalam menerapkan Perawatan yang Berpusat pada Individu (Person-Centered Care, PCC) telah berusaha mengubah wajah fasilitas kesehatan di Indonesia. Menurut Friedrich et al., perawatan yang berpusat pada individu bukan hanya memandang pasien sebagai subjek medis, tetapi sebagai individu dengan latar belakang, kebutuhan, dan nilai-nilai yang beragam​​.

Studi ini menyoroti pentingnya empati dalam perawatan medis, yang mencerminkan bagaimana kesehatan pasien dapat ditingkatkan tidak hanya melalui tindakan medis tetapi juga melalui pengertian dan dukungan emosional. Hal ini menegaskan penelitian oleh Chenhao Yu et al., yang menemukan bahwa perawatan yang berpusat pada individu dapat meningkatkan kesehatan fisik dan mental pasien​​. Lebih lanjut, implementasi efektif dari PCC menuntut kesadaran budaya yang lebih besar dan keterlibatan pasien yang lebih dalam, yang bisa jadi adalah pergeseran paradigma bagi banyak praktisi medis.

Salah satu aspek yang sering diabaikan dalam diskusi tentang perawatan yang berpusat pada individu adalah peran teknologi. Studi ini menyebutkan penggunaan kuesioner melalui Google Forms dan sampling purposif dari berbagai fasilitas kesehatan, yang menunjukkan potensi integrasi teknologi dalam pengumpulan data dan feedback pasien untuk meningkatkan kualitas perawatan​​.

Namun, penelitian ini juga mengungkap beberapa kesenjangan. Misalnya, walaupun pasien secara umum merasa diperlakukan sebagai individu unik, masih ada kekurangan dalam menghormati nilai dan kepercayaan budaya selama proses pengambilan keputusan. Ini mengindikasikan bahwa sementara fondasi teori dan praktik PCC telah diletakkan, realisasi penuh dari prinsip-prinsip ini masih jauh dari ideal. Pendekatan seperti yang disarankan oleh teori perubahan organisasi dan teori difusi inovasi oleh Rogers bisa sangat berguna dalam menerapkan perubahan ini dalam praktik medis​​.

Guna mendukung transformasi ini, ada kebutuhan mendesak untuk merevolusi pendidikan medis dan pelatihan yang diberikan kepada profesional kesehatan. Penekanan harus diberikan pada pengembangan keterampilan komunikasi, pemahaman budaya, dan pengelolaan hubungan pasien. Kebijakan dan pelatihan harus diarahkan untuk memperkuat keterampilan ini sejak awal pendidikan medis.

Artikel Friedrich et al. dan literatur terkait lainnya menyajikan gambaran yang jelas bahwa perawatan yang berpusat pada individu bukan hanya ideologi tetapi kebutuhan yang nyata dalam sistem kesehatan modern. Melalui peningkatan pelatihan, teknologi yang lebih baik, dan sensitivitas budaya yang lebih besar, kita dapat berharap untuk tidak hanya meningkatkan kepuasan pasien tetapi juga hasil kesehatan secara keseluruhan. Dengan mengedepankan empati dan pengertian, serta menggunakan alat-alat modern yang tersedia, kita dapat melangkah menuju masa depan di mana kesehatan tidak hanya dilihat sebagai ketiadaan penyakit tetapi sebagai keadaan kesejahteraan holistik yang lengkap.