Revolusi Kebaikan: Menghentikan Perundungan, Memulihkan Harapan

Oleh. Dr. H. Ahyar Wahyudi, S.Kep.Ns, M.Kep, FISQua, FRSPH, FIHFAA

5/4/20242 min baca

Perundungan atau bullying telah lama menjadi masalah serius di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan sekolah, tetapi juga meluas ke dunia maya, dikenal sebagai cyberbullying. Menurut data yang diungkapkan oleh Richard Armitage dalam tinjauannya di BMJ Paediatrics Open tahun 2021, sekitar satu dari tiga anak di seluruh dunia pernah mengalami perundungan dalam 30 hari terakhir. Bahkan, konsekuensi dari perundungan ini bisa sangat luas, termasuk dampak pada kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, hingga perilaku bunuh diri.

Di Indonesia, kasus perundungan seringkali mendapatkan sorotan media karena beberapa di antaranya berujung pada tragedi yang menyedihkan. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua bahwa perundungan bukanlah bagian dari tumbuh kembang anak yang bisa dianggap remeh. Sudah seharusnya kita, sebagai masyarakat, mengambil langkah konkrit untuk mengurangi, bahkan mengeliminasi, perilaku ini dari akar-akarnya.

Pesan yang sering disampaikan oleh orang tua, "perlakukan orang lain seperti kamu ingin diperlakukan," seharusnya menjadi dasar dalam mendidik anak-anak tentang empati dan kebaikan. Orang tua perlu aktif mengajarkan kepada anak-anak tentang pentingnya menghargai perbedaan dan uniknya setiap individu. Pendidikan karakter di rumah yang kuat adalah benteng pertama dalam melindungi anak dari menjadi pelaku atau korban perundungan.

Para ahli telah lama mendiskusikan berbagai strategi dan intervensi untuk mengatasi perundungan di sekolah dan lingkungan sosial lainnya. Menurut Armitage, intervensi yang melibatkan seluruh sekolah dengan menggabungkan disiplin ilmu dan partisipasi aktif dari seluruh staf sekolah menunjukkan hasil yang paling efektif. Hal ini sesuai dengan teori yang dikembangkan oleh Olweus, yang juga mendukung pendekatan yang sistemik dan menyeluruh dalam mengatasi perundungan.

Kebijakan di sekolah dan komunitas yang mendukung upaya pencegahan dan penanganan kasus perundungan sangat krusial. Peningkatan kesadaran dan pemahaman tentang perundungan harus terus mendorong perubahan kebijakan yang lebih proaktif dalam melindungi anak-anak kita. Kebijakan tersebut tidak hanya sekadar regulasi, tetapi juga harus mencakup dukungan psikologis dan intervensi yang tepat bagi korban dan pelaku perundungan.

Peringatan Hari Anti-Bullying Internasional pada tanggal 4 Mei seharusnya menjadi momen introspeksi bagi kita semua tentang apa yang bisa kita lakukan lebih lanjut dalam memerangi perundungan. Setiap individu memiliki peran dalam menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung untuk semua orang, terutama anak-anak, yang merupakan masa depan bangsa.

Dengan menggali lebih dalam ke dalam data dan penelitian yang ada, seperti yang dijelaskan oleh Armitage, kita dapat menemukan dan menerapkan strategi yang lebih efektif dalam memerangi perundungan di sekolah dan komunitas. Mari kita berusaha tidak hanya untuk menyembuhkan luka yang telah ada, tetapi untuk mencegah luka tersebut terjadi di masa depan.

Dari refleksi dan aksi kolektif, kita dapat mengharapkan untuk membangun komunitas yang lebih kuat, inklusif, dan empatik. Di mana setiap anak dapat tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang mendukung dan bebas dari rasa takut akan perundungan. Sebagai masyarakat, kita memiliki kekuatan untuk mengubah narasi perundungan menjadi cerita tentang kebaikan dan keberanian kolektif. Di sinilah kita semua memainkan bagian kita dalam drama besar yang disebut kehidupan, menuju babak baru yang lebih cerah dan penuh harapan.