Simfoni Kepemimpinan: Harmoni Dalam Akselerasi Hidup

Kol (Purn) Dr. Friedrich Max Rumintjap, Sp.OG(K), MARS, FISQua, FIHFAA, FRSPH

4/16/20242 min baca

Dalam irama yang tak terduga, kehidupan mengalunkan nada-nada yang menantang jiwa. Pemimpin, layaknya dirigen dalam orkestra kehidupan, menentukan tempo dan dinamika melodi yang dimainkan. Tatkala energi meredup dan keletihan mengintai, kepemimpinan yang harmonis menjadi kunci penyeimbang, sebagaimana dirigen yang mengatur nafas orkestranya untuk mencegah disonansi.

Seorang pemimpin yang autokratik mungkin menyerupai dirigen yang dengan ketat memegang kendali, mengarahkan tanpa memberi ruang bagi anggota orkestranya untuk berimprovisasi. Meskipun efektif dalam situasi darurat, gaya ini dapat mengeringkan sumber daya kreativitas, layaknya mata air yang terhalang bebatuan, menghambat aliran ide dan energi segar.

Berbeda dengan demokrasi, di mana dirigen mengundang setiap pemain untuk memberikan suara mereka dalam simfoni. Proses ini membutuhkan waktu, mirip dengan membangun katedral megah dari batu bata kecil-kecil—memerlukan kesabaran dan dedikasi. Namun, hasil akhirnya adalah keindahan yang tidak hanya memuaskan mata tetapi juga menyentuh jiwa.

Pemimpin transformasional layaknya komposer yang mampu memadukan nada dari berbagai instrumen menjadi sebuah mahakarya. Mereka membangun kepercayaan dan loyalitas yang dalam, yang serupa dengan melodi yang menghentak, dapat memicu perubahan besar dalam organisasi dan membawa visi jangka panjang menjadi nyata.

Di sisi lain, pemimpin yang melayani, atau servant leadership, ibarat dirigen yang turun dari podiumnya untuk memainkan instrumen bersama anggotanya. Mereka memberikan dukungan dari dalam, mengutamakan kebutuhan anggota timnya, dan mengangkat semangat dengan empati. Mereka mengepakkan sayap kebersamaan dan menari dalam ritme yang sama, mendorong pertumbuhan bersama.

Namun, laissez-faire, sering dianggap sebagai kebebasan tanpa batas, dapat berisiko menciptakan harmoni yang kacau bila tanpa arahan yang jelas. Pemimpin yang memberi terlalu banyak kebebasan tanpa panduan, seperti padang yang luas tanpa peta, memungkinkan kemungkinan tersesat bagi yang tak memiliki kompas.

Prof. William Tunesmith, ahli dinamika orkestra, mengemukakan bahwa kepemimpinan harus mampu beradaptasi seperti air yang mengalir, mengambil bentuk dari wadah yang diisi. Dengan demikian, pemimpin harus mampu berubah warna layaknya kameleon, menyesuaikan diri dengan lingkungan dan kebutuhan yang berubah-ubah.

Pemimpin harus menemukan keseimbangan, seperti dirigen yang menyesuaikan kekuatan tarikan busur biola dan tekanan tuts piano. Mereka harus mampu mengakui tanda-tanda kelelahan, menetapkan batasan, memelihara kebiasaan perawatan diri, mencari dukungan, merenung dan menyesuaikan, serta mengutamakan kesehatan.

Refleksi atas aransemen kepemimpinan ini membawa kita pada pemahaman pentingnya beradaptasi dan bertindak secara proaktif dalam menjaga keseimbangan kehidupan. Seorang pemimpin yang bijaksana akan mengenali tanda-tanda kelelahan dan menetapkan batasan yang jelas, melindungi dirinya dari amukan badai kerja yang tak kenal henti.

Rutinitas perawatan diri adalah melodi pribadi yang harus dimainkan setiap hari, melukiskan batasan antara profesionalisme dan kehidupan pribadi, layaknya komposer yang memilih saat untuk beristirahat di antara komposisinya yang kompleks.

Mencari dukungan dari rekan dan supervisor adalah serupa dengan memperkaya simfoni dengan alunan paduan suara, yang memberikan kekuatan lebih dalam penampilan. Sementara refleksi adalah proses mendengarkan kembali rekaman pertunjukan untuk memperbaiki kesalahan dan meningkatkan kualitas musik yang akan datang.

Sebagai pemimpin dalam bidang apapun, kita diingatkan untuk selalu menjaga kesehatan fisik dan mental sebagai pondasi dari kinerja kita. Kesehatan yang prima adalah instrumen dasar yang harus selalu terstem dan siap dimainkan.

Dalam setiap nada kehidupan, kita diajak untuk mempertimbangkan cerita dan pengalaman yang tak terbatas pada satu segmen. Tiap petikan dawai, tiap hentak pedal, membawa pengaruh dalam komposisi yang lebih luas.

Di hari yang suci ini, saya, Kol (Purn) Dr. Friedrich Max Rumintjap, atas nama ketua umum Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Indonesia (LAFKI), menyampaikan salam hangat dan harapan akan keharmonisan dalam kepemimpinan. Semoga di Idul Fitri ini, kita bisa saling memaafkan, layaknya mengharmoniskan disonansi menjadi kesepakatan nada yang indah. Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin.